Beberapa hari yang lalu saya menyempatkan untuk menonton film Sokola Rimba bersama teman-teman. Kata teman saya kalau gak segera nonton keburu turun nih film. Benar saja, hanya segelintir orang yang nonton tak salah kalau film model begini cepat sekali menghilang dari peredaran. Hanya saya berdelapan dengan teman-teman serta satu orang lagi yang ada di studio 2 Tunjungan 21 kala itu, padahal itu termasuk jam primetime, jam 19:00. Miris memang film sebagus ini hanya segelintir orang yang menonton. Saya pun berpikir apa gak rugi? setelah baca-baca produser (Mira Lesmana) memang sudah menyadari kondisi ini, dan memang hal tersebut sudah di antisipasi dari awal. Intinya kita harus tau apa yang kita buat. Misal film Atambua, Miles hanya menargetkan 20 ribu penonton, maka dari itu biaya pembuatan film tak boleh lebih dari 400juta. Pada kenyataannya Atambua berhasil menarik 30 ribu penonoton. Selain di putar di bioskop lokal, kebanyakan film produksi Miles juga diikutkan festival diluar negeri, setidaknya sudah ada 3 festival internasional yang di ikuti film Sokola Rimba ini.
![]() |
gambar dari googling |
Genre : Drama, Biografi
Durasi : 90 Menit
Sutradara dan Penulis : Riri Riza
Produser : Mira Lesmana (Miles films)
Pemain : Prisia Nasution, Rukman Rosadi, Nadhira Suryadi, Nyungsang Bungo, Nengkabau, Beindah
Film Sokola Rimba merupakan adaptasi dari buku yang berjudul sama karya Butet Manurung yang berisi kisah-kisahnya selama menjadi pengajar di pedalaman hutan bukit duabelas, Jambi. Ini merupakan film adaptasi dari buku ke 4 yang di produksi oleh Miles, setelah Gie, Sang Pemimpi dan Laskar Pelangi. Membaca buku dan menonton film merupakan sesuatu yang sangat berbeda. Ketika membaca buku kita menciptakan imajinasi sendiri tentang apa yang kita baca, sedangkan menonton film imajinasi kita di bentuk oleh gambar visual, dialog, serta penataan cahaya.
Sebagian besar pemain dalam film ini diperankan oleh orang rimba asli, sehingga hal tersebut pasti menciptakan tantangan tersendiri bagi pembuat film untuk bekerja dengan penduduk lokal. Tetapi hal tersebut justru menjadi nilai plus bagi saya, karena melalui hal tersebut sutradara dapat mempresentasikan orang rimba yang sebenarnya. Hal tersebut bukanlah hal yang mudah. Dialog yang digunakan dalam film ini juga menggunalan bahasa rimba, kecuali beberapa percakapan di kota. Hal ini mampu menciptakan sensasi sendiri bagi saya. Dengan digunakannya bahasa rimba saya lebih merasa kalau saya memang sedang berada di hutan, tentunya dengan dilengkapi subtitle bahasa Indonesia,kalau nggak saya juga gak tahu artinya kalee, heuheuheu.
Dalam film ini diceritakan bahwa Butet (Prisia Nasution) adalah tenaga pengajar di hutan bukit dua belas, di rombong hilir. Pada saat perjalanan ke rombong hilir, butet pingsan ditengah jalan, dan di tolong oleh anak rimba bernama Bungo, yang merupakan anak dari rombong hilir yang memerlukan perjalanan 7 jam untuk sampai ke hulu. Singkat kata Bungo sebenarnya ingin ikut belajar membaca dan menulis dengan Butet, Tetapi di rombongnya ada aturan adat yang menyebutkan bahwa belajar baca tulis hanya akan mendatangkan bencana. Disinilah konflik itu mulai terjadi.
Sebenarnya ada dua konflik yang terjadi, yaitu antara Butet dan Bungo yang ingin belajar tetapi terhalanga oleh aturan adat istiadatnya, dan yang kedua konflik antara Butet dan tempatnya bekerja yang tidak setuju ketika Butet ingin mengajar di rombong hilir. Hampir saya menangis ketika adegan Butet pergi naik bus meninggalkan murid-muridnya. Dalam adegan itu waktu terasa melambat bagi saya. Cepet selese dong adegan ini, kalo lama-lama bisa nangis juga nis saya, gerutu saya dalam hati paws adegan tersebut.
Bungo ingin belajar membaca karena ingin tahu apa isi surat perjanjian antara penebang liar dan ketua rombongnya yang dinilainya hanya merugikan kelompoknya. Butet selalu membawa gulungan surat perjanjian itu kemana-mana. Apakah Bungo akhirnya bisa membaca dan menulis? Apakah Butet berhasil mengajar sampai ke hilir yang merupakan rombong bungo? nonton sendiri aja ya, buruan keburu ilang dari dunia perbioskopan.. :D
Dalam film ini penonton disuguhkan dengan gambar-gambar yang menyejukkan mata. Frame-frame pemandangan alam yang hijau kerap kita temui, khas pemandangan hutan tropis Indonesia. Pembuat film mampu mengemas keindahan alam yang ada secara pas, tidak terlalu menonjol sehingga mengalihkan cerita intinya. Ditambah dengan dukungan tatanan suara yang padu padan sehingga mampu menciptakan suasana yang mampu menyentuh jiwa*tsahhh.. bahasa ane sok penyair..:D
Dari sisi cerita semakin membuka hati saya banyak orang-orang diluar sana yang hidupnya terganggu oleh kepentingan segelintir orang, orang-orang rimba yang semakin terusik oleh pembalak liar yang hanya mementingkan keuntungan belaka. Semakin membuka pikiran bahwa tak sedikit LSM-LSM dan juga pemerintahan yang hanya mengambil keuntungan pribadi dan acuh terhadap kepentingan masyarakat di pedalaman terutama di bidang pendidikan. Yah, meskipun saya tak bisa berbuat apa-apa, melalui film ini saya merasa bersyukur dengan hidup saya yang sekarang, yang sudah sampai ke perguruan tinggi S1 walaupun skripsi tak kelar-kelar, hadeuhhh.. malu saya dengan anak-anak rimba yang mempunyai semangat belajar sangat tinggi, sedangkan saya kerap kali menyia-nyiakan waktu dengan menunda-nunda skripsi. Ah sudahlah, saya mau skripsi dulu, heuheuheu..
![]() |
gambar dari googling |
Oh ya, temen saya sempet bilang sehabis nonton kalo Bungo di film ini sebenarnya kalo di buku namnya Gentar. Saya tak tahu karena saya belum membaca bukunya. Kebetulan buku Sokola Rimba menjadi bahan skripsi temen saya tadi. Masih kata temen saya, kalau dibuku lebiih menceritakan hubungan antara Butet dan Gentar lebih jauh lagi. Sekali lagi kan film dan buku merupakan hal yang berbeda, sangat-sangat berbeda. Oh ya sempat kepikir gak kenapa nama si anak rimba di film berbeda dari bukunya? setelah tanyak langsung sama mbak Mira Lesmana (sebenarnya cuma mbaca-mbaca sih, hheheu) ternyata hal tersebut karena bertentangan dengan adat istiadat di rimba. Jadi di Rimba tidak boleh menjadi orang lain, dalam hal ini memerankan orang lain. Sementara si Gentar sendiri pada waktu shooting sudah dewasa dan sudah menikah, jadi tidak mungkin juga memakai gentar yang asli, maka dipilihlah nama asli si pemain anak yaitu Bungo. Oh ya, di rimba juga ada adat yang melarang untuk menyebut nama orang-orang yang sudah meninggal.
Sumber :
http://www.wowkeren.com/film/sokola_rimba/
http://www.imamboll.com/2013/11/review-dan-sinopsis-film-sokola-rimba.html
http://rumahinspirasi.com/sokola-rimba-film-dan-buku-tentu-berbeda/
http://www.21cineplex.com/exclusive/mira-lesmana-perkenalkan-wajah-indonesia-dengan-film-sokola-rimba,158.htm
https://www.google.com/#q=review+filmsokola+rimba&safe=active