+ -

Pages

Kamis, 23 Februari 2012

Menggali Ilmu Lewat Workshop Film


Akhirnya selesai juga rangkaian workshop yang di adakan oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Jawa Timur kali ini. Banyak sekali pengetahuan pengetahuan baru terutama tentang film dokumenter setelah saya mengikuti rangkaian workshop yang di adakan selama 2 hari ini. Di hari yang kedua ini di isi oleh German Mintapraja dan Aman Sugandi, Praktisi film Arek TV. Ada dua materi yang diberikan, yaitu "Peta Film Dokumenter Indonesia/Dunia" dan "Klinik Sinematografi"

Pada materi pertama, semakin terbuka pengetahuan saya tentang film dokumenter. Menurut saya sendiri, membuat film dokumenter sama dengan mengerjakan karya tulis ilmiah seperti tugas-tugas yang ada di perkuliahan, hehe. Perlu riset yang mendalam untuk membuat film dokumenter. Dokumenter bersifat abadi, dan dokumenter bisa menjadi saksi sejarah

Di dalam workshop juga di tampilkan beberapa contoh film dokumenter, diantaranya sebuah film yang menggambarkan keadaan Bali di tahun 1932, dimana masyarakat disana pada waktu itu baik laki-laki maupun perempuan bertelanjang dada. Mungkin saat ini hal itu tidak dilakukan oleh masyarakat terutama perempuan karena merupakan hal yang tabu dan bisa-bisa di serbu FPI, hehe. Tetapi pada tahun 1932 di Bali hal itu merupakan suatu hal yang biasa. Dari satu film tadi akhirnya merambat menjadi isu-isu tentang antropologi, sosiologi,dan lain sebagainya. Jadi film dokumenter disini berfungsi sebagai saksi atau bukti, yang dapat digunakan untuk pembelajaran di bidang-bidang yang lain.

Melalui dokumenter, kita bisa mendaki puncak himalaya, bisa berenang di dasar laut, bahkan sampai bisa melihat hantu, hehe. Dokumenter juga sebagai media perekam kejadian-kejadian yang bisa merubah dunia, seperti perang dunia, peristiwa 10 November di Surabaya, bersatunya jerman, dan lain sebagainya. Dokumenter menjadi saksi sehingga kelak generasi selanjutnya dapat melihat apa yang terjadi di masa lalu. Mungkin saat sekarang anda merekam sesuatu yang tidak mempunyai nilai, tapi sepuluh atau lima puluh tahun kemudian film itu akan mempunyai nilai lebih. Kalo kata bang German, film dokumenter itu gak cuma dahsyat, tapi syatdah! hehe.

Materi yang kedua adalah Klinik Sinematografi. Harapan saya pada materi kali ini peserta bisa melihat langsung dan praktek tentang teknis-teknis kamera. Tetapi ternyata hanya obrolan-obrolan biasa. Memang sih obrolan yang berawal dari tanya jawab dengan semua peserta yang ada cukup berguna bagi saya. Sempat ada pertanyaan kepada pemateri soal hal yang sama, dan Bang Haji (sapaan akrab German Mintapraja) menjawab dengan simpelnya, “memangnya semua yang disini sudah membaca, disini aja gak ada yang jadi member perpustakaan, sudah tau tentang semua teknis-teknis dan hal kecil soal kamera, hampir semua workshop dimana saya menjadi pembicara, kebanyakan peserta ingin langsung praktek aja, gak mau baca dulu. Maunya praktis aja. Ya gak bisa dong?!” bener juga apa yang dikatakan Bang Haji, generasi sekarang maunya yang praktis-praktis aja, maunya langsung jadi. Apalagi di dukung dengan teknologi sekarang yang serba canggih.

Secara keseluruhan dari workshop kali ini saya merasakan suasana yang berbeda. Kalau biasanya forum-forum yang saya ikuti adalah dari sesama kamunitas-komunitas independen yang seumuran, kali ini peserta beragam. Dari mulai tahun kelahiran 70-an sampai 90-an, dari mahasiwa sampai guru sekolah. Dari orang teater sampai pegawai dinas. Sampai-sampai beberapa obrolan saya gak nyambung, terlalu berat kali yahh, terlalu jauh perbedaan umurnya, hehe. Sebenarnya masih banyak pengetahuan-pengetahuan yang ingin saya share dari workshop ini, tapi bingung nulisnya darimana. Nanti deh akan saya share lagi. Oke sekian kali ini, maju terus perfilman Indonesia, terus berkarya teman!



5 Mothisme: Menggali Ilmu Lewat Workshop Film Akhirnya selesai juga rangkaian workshop yang di adakan oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Jawa Tim...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

< >